Disparitas Pemberian Izin Pertambangan Minerba Terhadap Organisasi Masyarakat Keagamaan
DOI:
https://doi.org/10.19184/puskapsi.v5i1.53769Keywords:
Diskriminatif, Izin Tambang, Judicial Review, Penyalahgunaan Wewenang, Self CorrectionAbstract
Penelitian ini menganalisis kebijakan prioritas pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan berdasarkan Pasal 83A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai diskriminatif, bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan hukum, serta berpotensi memperkuat praktik patronase politik dalam pengelolaan sumber daya alam minerba. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal (legal research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach), penelitian ini mengkaji dua aspek utama: (1) ketidaksesuaian kebijakan dengan hierarki peraturan perundang-undangan; dan (2) penyalahgunaan wewenang dalam proses pembentukan kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hak istimewa kepada ormas keagamaan tanpa mekanisme lelang melanggar asas proporsionalitas, meritokrasi, dan partisipasi publik yang diamanatkan dalam UU No 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba. Penelitian ini merekomendasikan dua solusi: (1) pencabutan mandiri (self correction) oleh pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum; atau (2) uji materi (judicial review) di Mahkamah Agung. Temuan ini menjadi kritik konstruktif bagi pembuat kebijakan untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam minerba dilaksanakan secara profesional, proporsional, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang merepresentasikan kepentingan nasional Bangsa Indonesia secara berkelanjutan.