Penegakan Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Disabilitas dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam
DOI:
https://doi.org/10.19184/puskapsi.v5i1.53754Keywords:
Disabilitas, Hukum Pidana Islam, Pelaku Tindak Pidana, Penegakan, SanksiAbstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap penyandang disabilitas yang melakukan tindak pidana dengan menggunakan 3 (tiga) rumusan masalah yaitu bagaimana fenomena kasus tindak pidana yang dilakukan penyandang disabilitas, bagaimana Penegakan sanksi pidana bagi penyandang disabilitas Menurut hukum pidana positif dan Bagaimana penegakan sanksi pidana bagi penyandang disabilitas menurut hukum pidana Islam. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan jenis pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang regulasi yang bersangkutan paut dengan permasalahan yang sedang diteliti. Menggunakan dua bahan hukum yaitu primer dan juga sekunder, kemudian bahan hukum yang diperoleh dianalisis untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang kemudian dipaparkan dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomenal penyandang disabilitas yang melakukan tindak pidana pada penelitian ini terdapat menganalisis empat kasus, pertama, I Wayan Agus Suartama, yang melakukan pelecehan seksual terhadap 15 korban, kedua, seorang mahasiswa penyandang disabilitas intelektual yang didakwa melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur, ketiga, YI, penyandang disabilitas yang terlibat dalam tindak kekerasan bersama dua terdakwa lainnya; dan keempat, kasus pencabulan oleh RA, penyandang disabilitas mental, yang membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Dalam hukum positif, KUHP lama memberi kekebalan bagi penyandang disabilitas dari sanksi pidana, sedangkan KUHP baru memungkinkan pengurangan hukuman bagi mereka dengan disabilitas mental dan intelektual. Sementara itu, hukum pidana Islam hanya mengatur bahwa penyandang disabilitas mental (gila) tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya dari tindakannya karena dilakukan karena pelaku tidak tahu pelanggaran hukum yang dilakukannya, sementara penyandang disabilitas fisik, tidak ada di atur dalam ketentuan dalam hukum pidana IslamĀ tentang kebebasan dari hukuman sebagaimana disabilitas mental, sehingga dapat di analisis bahwa penyandang disabilitas fisik tetap dapat dimintai pertanggungjawaban jika memenuhi unsur-unsur jarimah dari perbuatan yang dilakukannya.